Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2016

Aku dan Lautan Manusia

Gambar
Aku dan lautan manusia Sebuah warna dikala senja menaiki tahta. Merah langit menuruni bukit. Langkah manusia melupakan asa penghibur rasa. Masa dimana peluh tak lagi jadi pengukur sebuah keseriusan berkarya. Masa dimana senyuman menjadi penghias meja makan persidangan. Masa dimana aku menikmati sendiri dalam sunyi. Semua ada dalam riuhnya lautan manusia. Memanggil nyawa pengiring penghormatan sesama. Tiba dimana matahari bersembunyi. Menitip salam rindu berbentuk berkas cahaya pilu. Aku dan impian kembali menyusup. Masih tetap di antara riuhanya lautan manusia. Masih dan akan masih terjadi. Air menghitam dikala mata tak lagi melihat kebenaran. Air mendidih mengucilkan waktu pagi. Masih bersemaiam di antara riuhnya manusia. Tak pernah aku bisa memukul bayangan mereka. Terus saja berubah-ubah menyerupai takaran tangan manusia. Meminjam ingatan dan membawanya pergi. Tanpa meninggalkan jejak apapun. Sekarang, aku harus mencari semua ingatan itu bersama ingatan manusia yang s

Sepotong Roti di Pagi Hari

Gambar
Sepotong Roti di Pagi Hari Tak pernah mata ini berjalan sepagi ini. Mencari lalu mencuri doa-doa yang hampir menyapa langit. Di tengah jalan uang koin menunggu untuk dipungut. Melatih jeli para pengais rejeki. Alasan tercipta bersama hidangan roti berisi sandiwara. Nikmatnya. Lekaslah sembuh sebuah luka. Dokter hanya butuh rupiah sandiwara. Di zaman ini apa sih arti sehat. Hanya sepotong roti dan sepatah kata berlandaskan sugesti. Tak ada yang memberi susu maupun obat di dunia bisnis. Dunia hanya memberimu kabar bahwa bisnis menawarkan racun manis. Tak jelas arti kata mati. Potongan-potongan roti mengerti untuk siapa dia dilahap. Kadang untuk pria buncit beruban. Kadang untuk seragam sekolah yang menyisakan potongan lainnya. Kadan pria kriput berbaju lusuh mendapatkannya. Hanya saja setelah berumur dua hari. Pagi benar-benar mengisahkan perjuangan roti. Setelahnya, potongan takdir berlaku kembali Image Source:  https://pixabay.com/en/toast-toaster-food-white-bread-1077

Akulah Nahkodaku Sendiri

Gambar
Akulah Nahkodaku sendiri Mereka mampu mengucilkan arah, merampok masa dan menyembunyikan janji. Meluapkan kisah itu dalam formasi waktu. Sebagian oleh aku, sebagian oleh jiwaku. Benar sebuah jalan, saat di sana ada sepasang telapak kaki menghisap pasir. Tak banyak kisah telapak kaki di jalan kebenaran. Sementara gerbang menuju penghakiman hitam memenuhi kaki hingga nampak tak asing bagi pencuri maupun pembunuh. Waktu pun terpisah di kala itu. Waktu pun enggan memberitahu. Muncullah pilihan ditemani nafas hidup yang belum sepenuhnya berhembus. Aku diantara pilihan itu sebelum sempat terjatuh. Takjub melihat bulan bernyanyi. Melilit awan sebagai hiasan malam. Merindu nama diantara jendela kamar tua bersarang laba-laba. Redupnya lampu memberitahu isyarat pergantian detak jantung yang perlahan menipu. Kini aku diantara tanah dan langit. Terlentang menyikapi dunia yang lantang. Tak perlu suara untuk mengujinya. Pilihan masih terus mengalir bersamaan dengan dunia yang semakin me

Seperti Sebuah Senyuman

Gambar
Seperti Sebuah Senyuman Berkali-kali aku jatuh. Namun tak pernah menemui rasa sakit. Berkali-kali aku kecewa. Tak pernah menemukan penyebabnya. Dunia seperti permainan boneka-boneka manusia. Dimana setiap kata tak pernah dimaknai sempurna. Berlalu begitu saja. Dibalik kaca berembun, aku melihatmu seperti seorang putri dihiasi goresan hitam putih. Sementara aku duduk di atas mesin besar memuntahkan asap hitam. Didepanku deretan kursi terpasak menunggu tuan muda mengambil langkah. Ada banyak tawa, cacian, pertanyaan dan hinaan di tempat itu. Namun, aku lebih memilih menatapmu, meski dari jauh. Aku lugu menyimpan senyum. Tidak pernah hati serapi ini menyimpan deretan ingatanmu dan perasaanku. Aku tersenyum dalam hati. Tapi tetap saja hati itu beku. Ada banyak nama di pikiranku. Namun hanya namamu yang berhasil menangkapku. Membawanya dan meletakkannya agar tak pernah lupa. Tapi tetap saja hati itu dingin dan bertambah tetesan embun baru. Tak pernah sempat untuk menghampir

Nyawa-nyawa Para Pemimpin

Gambar
Nyawa-nyawa Para Pemimpin Tidurlah tidur meniduri senja. Bangunlah bangun membangun mental agar engkau tak sengaja sakit saat sidang. Teruslah menuruskan penertiban pedang dua kaki yang gigih. Mungkin esok hari tanah berubah menjadi merah. Sisa darah rakyat yang tumpah. Singgasana masih aman. Tidur pun dilanjutkan. Sidang pun masih tetap berjalan. Kebutuhan rakyat pun dibahas. Berlama-lama agar api tak padam. Hangat di dalam wakil rakyat, sisa dingin diberikan kepada rakyat. Kemeja tak perlu rapi. Toh nanti pas sidang masih tetap berkelahi. Atau mau bunuh diri. Sisakan suap untuk rekan-rekan. Hey, yang benar saja. Kurang jumlahnya. Kami rakyat malu. Kami sudah muak diwakili. Biarlah kami maju sendiri. Membawa kesejahteraan kami. Tak ada lagi gedung. Dasi. Kemeja. Mobil. Biarlah semuanya jadi taman-taman padi yang menguning. Sebelum semua terlambat. Biarlah presidennya ada tiga ratus lima puluh juta jiwa. Image Source:  https://pixabay.com/en/businessman-man-e

Bait-bait Doa yang Menunggu Jatuh

Gambar
Aku dengar langit penuh sesak sebuah permintaan. Sampai mata ini memperoleh langit kelabu. Tutup langit seakan bukit-bukit yang mengigit bait. Bait yang menetap di ujung kedua tangan, tetesan akhir air mata dan sepertiga malam yang sunyi. Pernah aku ulang langkah-langkah ringan menimbun keringnya surau. Padahal air mengucur mempersilahkan lumut melukis dinding setiap sisi. Ternyata kering bukan urusan masing-masing. Tapi segumpal daging tak melihat cahaya lagi. Menunggangi lelap ditumpukan gelap. Celah langit kadang sengaja menjatuhkan sesuatu. Agar manusia tau. Hari mulai tua dan lelah. Nasib berubah pikiran terlalu sering. Hujan hanya hamparan sekejap yang lupa dimana harus turun. Hanya sedikit kutemui. Doa yang terjaga. Kadang hanya tergesa-gesa. Kadang doa ada dibarisan status sosial, di ketikan terakhir pria malang di kamar mandi. Jarang doa itu berbentuk nyata di serambi masjid sebelah. Kadang hanya beberapa memilih di antara lima. Tak pelak hati perlahan mati. Apa

Matahari Memilih Teduh

Gambar
Matahari Memilih Teduh Mungkin tanah ini tanah terbaik di bumi. Cahayanya menembus lembaran kehidupan jutaan manusia. Disana sini hutan bernyanyi. Baru-baru ini berbau asap. Lompatan hewan mamalia menjadi bukti. Wakil manusia kadang menghakimi. Nafas-nafas berat butuh uang panas. Di saku celana, terpancung erat. Sungguh ironis, kata-kata tak sempat berteriak keras. Para penadah berkumpul di singgasana. Decit kaki berbalut sepatu bermata dolar berbaris lembah lembut. Bergelar suara sound mengelilingi gedung beratasnamakan suara rakyat. Cepatlah cepat tidur, kata rakyat berbaju kusam. Namamu tak akan muncul esok hari. Kata Ayah para anak. Semua menyiapkan tikar langit dan alas kardus. Kepala menyimpan cerita. Mirip derita. Matahari menjadi alarm hangat para petani. Menjadi penanda bagi para pekerja. Menjadi payung bagi pemalas. Kata orang asing, ini negeri seribu janji. Negeri emas. Negeri dongeng. Negeri pencuri. Sampai akhirnya khatulistiwa memilih berjalan kaki. Tak

Kisah Waktu

Gambar
Kisah Waktu Untukmu bernama waktu. Aku masih bingung. Tentang terciptanya senja, pagi buta dan kata terlambat. Aku masih mencari-cari ujung usia muda, tua dan setelahnya. Aku habiskan semua kisah. Tapi tak satupun bertemu rupa waktu. Aku ikat erat-erat dentingan detik sebelum menginjak menit. Supaya tak lengah,tak berdaya. Waktu tetap tak dapat terhenti untuk ku ajak bicara. Waktu tetap berjalan. Kadang berlari sangat kencang. Aku terengah-engah saling berlarian. Akhirnya ku genggam waktu itu dengan genggaman erat. Dan aku mulai bertanya pelan. Apa yang membuatmu ditakuti banyak orang? Karena aku tak pernah peduli kepada apapun dan siapapun selain yang menciptakanku. Tiba-tiba waktu menamparku dan mengembalikanku di penghujung subuh. Berakhir di atas sajadah berdebu. Image Source:  https://pixabay.com/en/the-eleventh-hour-disaster-758723/

Just be Another Kindness

Gambar
We pick all the eyes We pick all the eyes Staring at the window of life Close all the opened shops It was a tiring day,the sound comes into the heart. Explains all of the darkness. Without speak the turth. Liar language. Take back all the eyes. Get the point of useless. Bring another. Sleep tight. Say that the world has already count the last day. Image Source:  https://pixabay.com/en/fingers-hand-silhouette-street-art-229045/

Lensa berdebu

Gambar
Lensa Berdebu Diamlah... Itu hanya sebuah kamera... Membuat warna berubah-ubah... Semudah melempar batu ke kepala... Harusnya tak usah bicara... Diamku, Anganku, suaraku... Tak sama denganmu.. Image Source:  https://pixabay.com/en/camera-photography-lens-equipment-801924/

Pisahkan dan pertemukan

Gambar
Pisahkan dan Pertemukan Tuntunlah hati untuk berpisah. Agar aku dapat berjumpa di bagian dari kisahmu saja. Bukan aku tak peduli pada hati, bukan pula rasa yang mati, tapi sebuah janji untuk tak saling menyakiti. Biar waktu yang diberikan tuhan menjadi saksi. Saksi yang tak pernah berbohong. Memiliki takdir memang sangatlah menggiurkan. Namun memiliki iman sangatlah mententramkan. Hati yang tak pernah tersentuh nada cinta buatan manusia. Cukuplah hati ini milik sang pencipta.

Menulis Pagi-pagi buta

Gambar
Menulis Pagi-pagi Buta Mesin di hari itu selalu mencetak wajah. Mesin di hari itu berbunyi menghakimi. Membawa kembali canda tersangkut di jemari kaca menghadap wajah. Mesin di hari itu mampu memanipulasi hati. Bahkan, itu semua hanya sebuah mesin. Tak lebih dari sekumpulan jalur listrik yang menggelitik. Tapi orang menungganginya seperti kuda. Image Source:  https://pixabay.com/en/chives-plant-meadow-spring-green-175639/

Keretaku Terlalu Cepat

Gambar
Keretaku Terlalu Cepat Aku memang iri tentang nadi bangsa. Tak pernah seberuntung negeri China. Apalagi berdiri serentak berjajar negeri matahari terbit. Bukan terlalu sulit. Hanya kantukku berbelit-belit. Persaanku saja mungkin melihat mereka berupa-rupa. Pernah dengar kereta hendak didirikan. mungkin mengangkasa mengelilingi ibu kota. Sehari-hari ibu anak melilit tali. dibawahnya ada aliran air raksasa tertawa. Pak keretamu tidak terlalu cepat? Apa keretaku yang mengungguli...? Pak... Ada anak minta jalan lebar di pulau sana...apa kita beri mereka kereta juga? Pak... Pak... Mungkin keretanya sudah berangkat... Masih ingat kreta cepat bandung-jakarta..?? Image Source: https://pixabay.com/en/underground-train-station-train-1081975/

Suara (Awan) Biru

Gambar
Suara (Awan) Biru Inginku menginjak awan. Saat bumi berukuran sejengkal. Berlarian menggoyang hujan. Awan ada di namaku. Petir menyukai awan. Petir memeluk bumi. Membekas membentuk pelangi. Tapi petir menyakiti. Senja tak lagi dapat dibedakan bersama hujan. Berpendar suara hati ingin bernyanyi. Nyanyian yang disambut hujan tawa gerimis. Mengisahkan awan bercumbu manis. Awan sekali lagi turun ke Bumi. Berupa kepulan asap. Merampok batuk, lalu duduk. Tepat di hadapanku. Tersenyum. Mendekat. Biasanya awan meminta kembali namaku. Kali ini, ia pergi menitipkan janji. Berbunyi "hujan akan marah padaku karena membagi nama denganmu, tapi Tuhan akan lebih marah jika aku hanya menyimpan namaku". Awan kembali mengangkasa. Menabur hujan. Namaku Andriawan Image Source: https://pixabay.com/en/sky-clouds-sunlight-dark-690293/

Kata-Kata Kita

Gambar
Kata-Kata Kita Kita seperti layang-layang tanpa benang. Melambung menertawai senandung. Mengikat diri memilih arah yang tersambung-sambung. Dulu ada senyum di antara kita. Persisnya berbentuk tawa. Bergantian menyusun cerita. Selalu lelap dalam usang tidurku sebelum terpenjam. Tembok gelap di hamparan kamar menyanyikan pengantar tidur. Tanpa ada lagi bantahan terhadap hari. Hari itu hati kita terpecah-pecah. Berserakan dan berpencar ke segala arah. Satu terlempar mengenai ibu. Salah satu kita menangis. Satu lagi diam disusul tangis. Dua sisanya tak tau dimana. Terlihat hanya seragam biru bercucuran air mata. Hari itu. Hari itu aku memiliki kisah baru. Lenyap memakan waktu. Gelap tampak di dekatku. Lalu aku benar mengingatmu bagian yang tak sama. Aku tertuduh jatuh cinta. Kita pernah sama-sama memikul sepi. Sejak kita ciptakan keadaan hujan menjadi kemarau. Dan sedikit tertusuk sebilah penasaran. Aku dan kalian. Tak lagi betah memakai kata-kata kita. Berselisih

Meretas Kawan

Gambar
Meretas Kawan Selamat datang kawan. Tempatmu sudah ku siapkan. Menepisku angan. Melumatku menjadi sasaran. Jumpaku mengalihkan pandanganmu. Suaraku bisu. Hadirku rapuh. Lepasku bersamamu. Nodaku tampak olehmu. Oh kawan menawan. Jangan khianati takdir ini. Kau coba, aku kecewa. Kau marah, aku sama. Kita biasanya satu langkah. Tawa berkumpul, ejekan memukul, tapi tak separah berbagi janji. Kau jauhi diri, untuk yang disana berambut basah. Mengecup bunga. Berbibir merah. Mirip sekali takdir ini. Seribu manusia, satu yang tak sama. Kau di antara seribu, aku hanya satu. Tetapi aku mengupas tegamu. Jika duniamu teralihkan, aku abaikan. Jika kau butuh pengganti, silahkan dinikmati. Namun jika kau butuh diri, kuharap kau melebur berasama seribu biasa seolah sempurna.  Image Source: https://pixabay.com/en/skeletal-flower-congratulations-601213/

Kota dan Ijazah

Gambar
Kota dan Ijazah Lelahku terhubung bersama waktu. Di dekap polesan rindu. Tak bertuan sebuah angan. Nestapa pelayan menyuguhkan ratusan jawaban. saling menjawab, serupa tanya jawab. Letak angan kini bergesek paruh waktu. Dari waktu subuh hingga kuali berbau asap. Mengaduk nasib bercengkerama bumbu dunia. Peluh tak jadi jaminan keringat pekat. Apalagi air yang hanya mengalir. Sesak kepala berdempetan. melagukan surat negara berwabah hina. Kata orang surat tak lagi kuasa. Hingga orang-orang menunjuk keras sebuah telunjuk menembus dahi. Asumsiku itu adalah otak. sempat mengulang ternyata bukan. Itu senjata kejam orang-orang berdasi. Aku berdiri di ujung kaki. Diantara bunyi palu dan semburan debu. sesekali traktor permisi di depanku dengan suara singa. Aku masih basah tangan menggenggam surat kuasa. Hari itu, kota serupa medan perang. menunggu genderang. membunuh keegoisan. capit-capit traktor berlalu lalang. Es Teh memanggilku memasuki warung tua. Banyak nasib

Menangis Kepada Tuhan

Gambar
Menangis Kepada Tuhan Bencilah kenyataan. Maka kau akan tertidur dalam impian. Bencilah sakit hati. Maka kau selamanya menyindiri. Bencilah kekasih. Hidup terpasak menunggu mati. Bencilah, apa itu yang kau sebut kebenciaan Tapi kumohon... Menanglisah kepada Tuhan Image Source:  https://pixabay.com/en/kid-praying-muslim-islam-faith-1077793/

Dongeng Percintaan

Gambar
Dongeng Percintaan Kau pikir makna cinta hanya terletak pada lautan kisah kekasih? Mungkin kau harus meminum ulang air matamu. Sembari menatap langit mengejek keahlianmu. Memegang erat tangan kekasih lalu meremukkanmu. Kau hanya belum melihat di balik jendela. Berjajar rapi ribuan kesakitan. Tumbuhan dan hewan melarang api terbakar. Petani-petani menari bersama padi. Si penyendiri menyimpan hati. Kau hanya enggan penikmat nafsu. Mengaku-ngaku si ahli cinta. Menobatkan diri menjadi pujangga. Masih ingatkah bagaimana awal caramu menyentuh dunia? Menangislah dimakan usia. Katanya mati hidup bersama selalu. Kepingan takdir menimpa malu. Kadang si ahli fikir gigit jari. Filosofi mengurung diri. Permainan melempar kata sudah usang. Saling memanggil kata sayang. Tapi hati masih meriang. Melucuti fenomena diri. Berbohong walau tak sekali. Makna cinta sungguh melebihi samudra. Makna nafsu berakhir memburu. Mempersempit bukan keahlianmu. Memperluas bukan pula tugasmu.

Pinjam kisahmu

Gambar
Pinjam kisahmu Terlalu banyak aku membeli derita. Hingga warnapun memudar menyerap cahaya. Segalanya menjadi hitam putih. Sisanya warna palsu. Aku melihatmu menjual kisah. Namun aku tak lagi mampu membeli walau sebongkah batu. Kau tersenyum padaku. Menawarkan tangan yang terlihat kaku. Aku mengambilnya. Warnaku bertambah satu. Kau sisakan banyak senyuman tepat diantara tulang ini. Kau selimuti kelopak dengan kata pertemanan. Kau memarahiku seperti badai menyapu biru. Kau mengejekku akan kata-kata yang kutinggal di lapisan batu. Caramu meyakinkanku. Aku tersenyum memeluk kisahmu. Kini, tak pasti. Kau berjalan membeli kisah lain. Kisah bekas, sisinya terkelupas. Aku ragu kau setuju. Tapi aku yakin itu masa lalumu. Aku segera mengunci pintu. Tak berani menoleh. Kau ternyata kenyataan. Kau menangis. Namun hatiku yang patah. Langkah malu aku getarkan. Mendekatimu aku inginkan. Saat kau tak terhibur aku lontarkan.  Bolehkah aku pinjam kisahmu? Image Sourc

Kau Mengenalku...?

Gambar
Kau Mengenalku...? Aku sepenuhnya pendiam. bahkan batu menjadi karibku. Kau tanya bagian hidupku. Tak kuserahkan semudah itu. Kau mengukus hangat senyuman. Kau lukis hatiku seperti yang kau mau. Kau tawari tawa tanpa permisi. Aku melompat mencoba mengambilnya. Lalu terjatuh. Daripada membuang waktumu, aku mengaisnya. Menempelkan erat di punggung. Agar mengendap memenuhi jantung. Curi dengar tentang pangeranmu yang membuang sisa ingatanmu. mebungkusnya dengan air matamu. Masih tertelungkup dalam ingatanmu saat bertemu. Sekali lagi aku bertambah diam. Hanya tak yakin akan tetesan jalan. Kau merindu yang tak sampai. Aku menangkapmu dalam bayang. Kau kecewa berlatar kisah. Menerbangkan debu hidupmu menusuk mata. Kau manis tapi menangis. Kau sehat tapi tak semangat. Apa yang aku tunggu darimu? kau bahkan tak mengenalku. Kau hanya bersembunyi dibalik punggungku. Sambil berharap waktu menempa sisa masa lalumu. Kau memaksaku meletakkan diam. Bahkan keluragaku

Kisah Lembaran Puisi

Gambar
Kisah Lembaran Puisi Terbangun bersama sepi, Dia selalu terheran. Berlumur penasaran. Sudah 1 bulan bertahan. Sang suami meninggalkan pesan. Pesan Berbalut bait pecinta kata. Sang istri lebih memilih mengernyitkan dahi. Namun cintanya lebih memilih senyum menendang ketidakpahaman. Sambil berkejaran meluruskan pakain menetes, Sang istri berlagak sastrawan. 2 hari pertama menikah ia ingat sebuah ingatan. Suara serak sang suami tergopoh-gopoh. Bukan kata biasa i love you. Bukan menawari hidup rapi. Tapi janji abadi meluapkan air mata. berakhir di singgasana malam berburu cerita. Rautnya menari-nari tepat di depan gorengan berminyak. Senandung bertebaran menyenggol pisau di sela sayuran. Tomat terhibur. kentang pura-pura tidur. Wortel mulai terpotong. Dapur pun sempurna bak teater dadakan. Komando sang Isteri memicu nadi ketegangan. Hanya kepulan asap menjadi tepuk tangan. Senyuman tak lagi dibutuhkan. Semua terhidang sempurna bersama puisi sitaan sang Istri. Hari meny

Menebak Pagi

Gambar
Menebak Pagi Aku tak mengajarkan pelik, untuk tau selubung nafas hidup. Tercermin di atas pantulan hujan genangan. Warna langit kelabu belumlah sepenuhnya awan. Sisa sarapan burung hutan terjatuh membentuk liang. Payung tak sanggup menganga lagi menutupi sedih. Jalanan mengambil hikmal berbentuk aspal basah. Para pemutar roda berlarian berbusana plastik penutup wajah. Ku intip Jam berjalan mengekor di paruh lengan. Tanda mentari menyiarkan api. Namun dibalik lapisan sepi. Seperti Sepatutnya air bekerja. turun dari bawah. Naik sebelum singgah. Kadang membawa harga sebuah wajah. Menepi mencari pegunungan harapan. Terlihat tak sepenuhnya hijau. Asap samar terlihat. Seseorang berseragam Hijau mencoba menyudahi hari bersama peluit nyaring. Aku duduk menduduki kaki di atas papan kayu biru. Belumlah sepenuhnya hafal hitungan hari. Alasan mengerti inti jati diri. Teringat basah membalik jiwa juga sekitar raga. Tahun ini benar terasa basah. Seperti saat gigi menemukan luban

Hari Yang Cerah Untuk Jiwa Yang Sepi

Pagi biar ku sendiri Jangan kau mendekat Wahai matahari Dingin hati yang bersedih Tak begitu tenang Mulai terabaikan Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi Begitu terang untuk cinta yang mati Ah... ku coba bertahan dan tak bisa Mencoba melawan Ku lepas Biar langit kelabuku Tak begitu luas Seperti memudar Kini tak terulang lagi Di hari yang cerah Dia telah pergi Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi

Walau Habis Terang

Ku terbiasa tersenyum tenang walau aargh… hatiku menangis Kaulah cerita tertulis dengan pasti selamanya dalam pikiranku Uuhh.. Selamanya... Peluk tubuhku untuk sejenak Dan biarkan kita memudar dengan pasti Biarkan semua seperti seharusnya Takkan pernah menjadi milikku Lupakan semua tinggalkan ini Ku kan tenang dan kau kan pergi Berjalanlah walau habis terang Ambil cahaya cinta kuterangi jalanmu Di antara beribu lainnya kau tetap.. kau tetap.. kau tetap.. benderang..

Adik Titipan Kemarin

Gambar
Adik Titipan Kemarin Tak susah mengira tentang diamku. Meretakkan jembatan berteras biru. Berlari sampai isi penjuru penghuni atap. Memisah bertahun-tahun bertabur diam. Dia Tumbuh gadis belia. memeluk berlian dia tetap bercahaya. Ibunya menyapa gembira. Aku penuh hukum pengalih rasa. Tersadar itu pasti. Namun kaca sudah retak. Namun kaca tak sempat berteriak. Lewat irisan hati, rasa uap hati menggelembung. Hampir pecah ditusuk penyesalan tajam. Bukan kata terlambat yang ingin kudengar. Tapi kata itu sudah terdengar. Menghardik kata tepat di ujung kerongkongan. Menyumpal mulut sempat berbusa. Ku diam tak berasosiasi dengan acuh. Ku diam karena takdirku. Walau bahan ucap sudah langkah, bahan doa tak pernah sepi. Sebab itulah ikatan. Suatu saat semuanya akan berjalan seperti seharusnya... Image Source:  https://pixabay.com/en/girls-children-tulips-netherlands-739071/

Mengintip Sang Kakak Hidup

Gambar
Mengintip Sang Kakak Hidup Alkisah Kedua Nama membicarakan anak pertama mereka. Disisi penghayatanku nama itu adalah kakak. Bertubuh datar berparas menawan. Meralat kisahku berwajah jemu. Tak henti-henti mebuka-buka lipatan kisah yang hampir sama. tetap juga menyelam tak menemukan apa-apa. Rasa Kantuk meluap-luap mengitari jemari hati. Mendengar kisah sang kakak menyebut pangkal kehebatan. Begitulah sang Adik yang kalah populer, diantara panggung keluarga berseri bahagia. Melamun menemukan kisah klasik. sedikit pilu. 2 Juta setiap bulan. Sang Kakak melayang. 200 ribu perbulan. Sang Adik habiskan. Sungguh meminum lautan dengen perut manusia. Kadang sang Adik melambung tinggi bukan bahagia. Hatinya ringan tak tau arah. Melihat banyaknya nyawa yang menghidupinya. Lalu jatuh di dataran sepi. Belumlah sempat bergerak, ingatan kembali tercuri. kisah adik yang kakaknya bekerja . dan adik tak melakukan apa -apa Image Source:  https://pixabay.com/en/silh

Jalanan Anak-anak

Gambar
Jalanan Anak-anak Asap membatuk meniru burung pelatuk. Keringat menyebar kulit kekar. Kuingat warna roda yang tetap sama. Berputar memanggil asap. Hey kau raja jalanan. Bertarung memaki waktu malam. Wanitamu memanjat bendera. Berteriak cuilan nada. Merampok masa depannya sendiri. Bising tak sebising hati para penanggung keriput. Lesu tak selesu hari yang memeluk gaji. Adakah sebait cincin berdarah biru. Jika takdirmu pasir hitam. Berteriakpun hanya akan merobek mulut. Lalu setelahnya akan merobek hati-hati famili. Memilih untuk tetap menasehati. Tinggalkan jejak berupa tulisan putih. Sudahilah komersial tawa. Hampir semuanya menelanjangi perjaka. Tak sudi untuk diam tanpa aksi. hasil imajinasi diri dan layar kaca. Kau pikir mereka muntah uang. Yang sebagiannya kau ambil untuk membayar hutang. Bahkan harian mereka berbulu sang pejuang. dalam diri mereka ada darah artis ibu kota. Sayangya, di tempat yang salah. Tepat di hati yang seharusnya berisi janji. Ib