Menebak Pagi

Menebak Pagi

Aku tak mengajarkan pelik, untuk tau selubung nafas hidup. Tercermin di atas pantulan hujan genangan. Warna langit kelabu belumlah sepenuhnya awan. Sisa sarapan burung hutan terjatuh membentuk liang.

Payung tak sanggup menganga lagi menutupi sedih. Jalanan mengambil hikmal berbentuk aspal basah. Para pemutar roda berlarian berbusana plastik penutup wajah. Ku intip Jam berjalan mengekor di paruh lengan. Tanda mentari menyiarkan api. Namun dibalik lapisan sepi.

Seperti Sepatutnya air bekerja. turun dari bawah. Naik sebelum singgah. Kadang membawa harga sebuah wajah. Menepi mencari pegunungan harapan. Terlihat tak sepenuhnya hijau. Asap samar terlihat. Seseorang berseragam Hijau mencoba menyudahi hari bersama peluit nyaring.

Aku duduk menduduki kaki di atas papan kayu biru. Belumlah sepenuhnya hafal hitungan hari. Alasan mengerti inti jati diri. Teringat basah membalik jiwa juga sekitar raga. Tahun ini benar terasa basah. Seperti saat gigi menemukan lubang tapi tak pernah mengunyah apapun.

Mataku menyorot tua renta menggendong baja. Tak yakin hanya sampah. Dibalik punggungnya seribu nafas mengharap doa. Memakai penutup kepala bukan pilihan. bukan menutupi akar putih. Hanya saja hujan berkelahi memanja mengeluarkan air mata.

Ingin rasanya aku menampar tetesan ini sekali lagi. lalu menghampiri tua renta menyambut diri. Aku malah memuak. berpaling membentuk cibiran. ternyata kaki memeluk rantai bernama hidup. bukan 

hidup mereka. tapi masing-masing. mirip keegoisan. Hanya dipoles profesi.

Jejakku kini hanya berupa air. Sedikit hawa panas di sekitar papan. Memindah tubuh dari kesunyian ketingkat keramaian. Tak lagi terlihat tua renta di ujung sana. Mungkin dia sudah meminta dunia bersama pulangya. Aku mengusap warna mukaku. Membuatnya berpusar ragu. Kemana kenyataan hinggap, disana aku yakin kisah tercipta. Aku sampai di depan pekerjaan.

Image Source: https://pixabay.com/en/frost-trees-farm-sunrays-outdoors-1148984/